***
Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu tampak masih menyala hijau. Agus segera menginjak pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat lagi. Apalagi ia sangat hafal perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.
Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Agus berdebar kencang, berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Agus bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. "Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak," pikirnya sambil terus melaju.
"Prit!" Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.
Agus menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Heii, itu kan Bram, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Agus agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya. "Hai, Bram. Senang sekali ketemu kamu lagi!"
"Hai, Gus." Tanpa senyum.
"Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah."
"Oh ya?" Tampaknya Bram agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. "Bram, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong."
"Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini." O-o..., sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Agus harus ganti strategi.
"Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala." ... Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
"Ayolah Gus. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu." Dengan ketus Agus menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara Bram menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bram mengetuk kaca jendela. Agus memandangi wajah Bram dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bram kembali ke pos-nya. Agus mengambil surat tilang yang diselipkan Bram di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM-nya dikembalikan bersama sebuah nota.
Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Agus membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bram.
---
"Halo Agus, Tahukah kamu Gus, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Agus. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bram)."
---
Agus terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bram. Namun, Bram sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
***
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain.
Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita.
Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
- 9Pustaka -
0 komentar:
Post a Comment