Surat Dari Seberang Hijab

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM... Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, (CATATAN : JANGAN DIBACA PADA SAAT ADZAN DI MESJID SEDANG BERKUMANDANG)

***

Kisah dibawah ini sepenuhnya FIKTIF belaka. Mohon maaf bila ada kesamaan nama, lokasi, waktu, kejadian dan hal sekecil apapun yang mirip dengan pembaca, hal itu murni kesengajaan dari penulis...... v^_^"

***

Di tengah pekatnya malam yang membentang. Sunyi memang. Dan ana masih saja berfikir tentang diri antum, akhi. Jangan salah sangka ataupun menaruh prasangka. Semua semata-mata hanya untuk muhasabah terutama bagi diri ana, makhluk yang Rasulullah SAW sinyalirkan sebagai pembawa fitnah terbesar. Surat antum sudah ana terima, ana baca dan ana simpan. Surat yang membuat ana gementar. Tentunya antum sudah tahu apa yang membuat ana nyaris tidak bisa tidur kebelakangan ini.

“Ukhti, saya sering memperhatikan anti. Kalau sekiranya tidak dianggap lancang, saya berniat berta’aruf dengan anti.”

Jujur ana katakan bahawa itu bukan perkataan pertama yang dilontarkan ikhwan kepada ana. Antum adalah orang yang kesekian. Tetap saja yang ‘kesekian’ itu yang membuat ana diamuk perasaan yang tidak menentu. Astaghfirullahaladzim. Bukan, bukan perasaan melambung kerana merasakan diri ana begitu mendapat perhatian. Tetapi karena sikap antum itu mencampak ke arah jurang kepedihan dan kehinaan. ‘Afwan kalau yang terfikir pertama kali di benak bukannya sikap memeriksa, tapi malah sebuah tuduhan: ke mana ghaddhul bashar-mu?

Akhifillah,
Alhamdulillah Allah mengkaruniakan dzahir yang jaamilah. Dulu, di masa jahiliyah, karunia itu senantiasa membawa fitnah. Setelah hijrah, ana fikir semua hal itu tidak akan berulang lagi. Dugaan ana ternyata salah. Mengapa fitnah ini justru menimpa orang-orang yang ana hormati sebagai pengemban risalah da’wah? Siapakah yang salah di antara kita?

***

“Adakah saya kurang menjaga hijab, ukh?” tanyaku kepada Aida, teman sebilikku yang sedang mengamati diriku. Lama. Kemudian, dia menggeleng.

“Atau baju saya? Sikap saya?” — “Tidak, tidak,” sergahnya menenangkanku yang mulai berurai air mata.

“Memang ada perubahan sikap di kampus ini.”

“Termasuk diri saya?”

“Jangan menyalahkan diri sendiri meskipun itu bagus, sentiasa merasa kurang iman. Tapi tidak dalam hal ini. Saya cukup lama mengenali anti dan di antara kita telah terjalin komitmen untuk saling memberi tausiyah jika ada yang lemah iman atau salah. Ingat?”

Aku mengangguk. Aida menghela nafas panjang.

“Saya rasa ikhwan itu perlu diberi tausiyah. Hal ini bukan perkara baru kan ? Maksud saya dalam meng-cam akhwat di kampus.” Sepi mengembang di antara kami. Sibuk dengan fikiran masing-masing… .

“Apa yang diungkapkan dalam surat itu?”

“Ia ingin berta’aruf. Katanya dia sering melihat saya memakai jilbab putih. Anti tahu bila dia bertekad untuk menulis surat ini? Ketika saya sedang menjemur pakaian di depan rumah! Masya Allah…. dia melihat sedetail itu.”

“Ya.. di samping itu jarak waktu anti keluar juga tinggi.”

“Ukhti…,” sanggahku, “Anti percaya kan kalau saya keluar rumah pasti untuk tujuan syar’ie?”

“InsyaAllah saya percaya. Tapi bagi anggapan orang luar, itu masalah yang lain.”
-
Aku hanya mampu terdiam. Masalah ini sentiasa hadir tanpa ada suatu penyelesaian. Jauh dalam hati selalu tercetus keinginan, keinginan yang hadir semenjak aku hijrah bahawa jika suatu saat ada orang yang memintaku untuk mendampingi hidupnya, maka hal itu hanya dia lakukan untuk mencari keridhaan Rabb-nya dan dien-ku sebagai tolok ukur, bukan wajahku. Kini aku mulai risau mungkinkah harapanku akan tercapai?

***

Akhifillah,
Afwan kalau ana menimbulkan fitnah dalam hidup antum. Namun semua bukan keinginan ana untuk memiliki wajah seperti ini. Seharusnya di antara kita ada tabir yang akan membersihkan hati dari penyakitnya. Telah ana coba dengan segenap kemampuan untuk menghindarkan mata dari bahaya maksiat. Alhamdulillah hingga kini belum belum hadir sosok putera impian yang hadir dalam angan-angan. Semua ana serahkan kepada Allah ta’ala semata.

Akhi,
Tentunya antum pernah mendengar hadits yang tersohor ini. Bahawa wanita dinikahi karena empat perkara: kecantikannya, hartanya, keturunannya, atau dien-nya. Maka pilihlah yang terakhir (dien-nya) karena ia akan membawa lelaki kepada kebahagiaan yang hakiki.

Kalaulah ada yang mendapat keempat-empatnya, ibarat ia mendapat syurga dunia. Sekarang, apakah yang antum inginkan? Wanita shalihah pembawa kedamaian atau yang cantik tapi membawa kesialan? Maaf kalau di sini ana terpaksa berburuk sangka bahwa antum menilai ana cuma sebatas fisik belaka. Bagaimana antum tahu bahwa dien ana memenuhi kriteria yang bagus? Apakah dengan melihat frekuensi kesibukan ana? Banyaknya waktu yang habis di luar rumah?

Tidak. Antum tidak akan pernah tahu bila saatnya ana berbuat ikhlas lillahi ta’ala dan bila saatnya saya berbuat karena riya’. Atau adakah antum ingin mendapatkan istri wanita cantik yang memiliki segudang prestasi tetapi akhlaknya masih menjadi persoalan? Ana yakin sekiranya antum diberikan pertanyaan demikian, niscaya tekad antum akan berubah.

Akhifillah,
Tanyakan pada setiap akhawat kalau antum mampu. Yang tercantik sekalipun, maukah ia diper-istri-kan seseorang karena dzahirnya belaka? Jawabannya, insya Allah tidak. Tahukah antum bahawa kecantikan dzahir itu adalah mutlak pemberian Allah; Insya Allah antum tahu. Ia satu anugerah yang mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar jika diberikan kepada seseorang atau dihindarkan dari seseorang. Jadi, manusia tidak mendapatkannya melalui pengorbanan. Lain halnya dengan kecantikan bathiniyyah. Ia melewati proses yang panjang. Berliku. Melalui pengorbanan dan segala macam pengalaman pahit. Ia adalah intisari dari manisnya kata, sikap, tindak tanduk dan perbuatan. Apabila seorang lelaki menikah wanita karena kecantikan batinnya, maka ia telah amat sangat menghargai perjuangan seorang manusia dalam mencapai kemuliaan jati dirinya. Faham?

Akhifillah,
Tubuh ini hanya pinjaman yang kembali pada-Nya bila tiba masa mengambilnya. Tapi ruh, kecantikannya menjadi milik kita yang abadi. Karenanya, manusia diperintahkan untuk merawat ruhiyahnya bukan hanya jasmaninya yang boleh usang dan koyak sampai waktunya.

Akhifillah,
Kalau antum ingin mencari akhawat yang cantik, antum juga seharusnya menilai pihak yang lain. Mungkin antum tidak memperhatikannya dengan teliti. (Alhamdulillah, tercapai maksudnya untuk keluar rumah tanpa menimbulkan perhatian orang). Pakaiannya sederhana, ia hanya memiliki beberapa helai. Dalam waktu seminggu antum akan menjumpainya dalam jubah-jubah yang tidak banyak koleksinya. Frekuwnsi waktu untuk keluar rumah tidak lama. Ia lebih suka memasak dan mengurus rumah demi membantu kepentingan saudari-saudarinya yang sibuk da’wah di luar. Ia nyaris tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kalau antum sudah melihat shalatnya. Ia begitu khusyu’. Malam-malamnya dihiasi tahajjud dengan uraian air mata. Dibaca Qur’an dengan terisak. Ia begitu tawadhu’ dan zuhud. Ah, ana iri akan kedekatan dirinya dengan Allah. Benar, ia mengenal Rabbnya lebih dari ana. Dalam ketenangannya, ia tampak begitu cantik di mata ana. Beruntung ikhwan yang kelak memperisterikannya… (ana tidak perlu menyebut namanya.)

***

Malam semakin beranjak. Kantuk yang menghantar ke alam tidur tidak menyerang saat surat panjang ini belum usai. Tapi, sudah menjadi kebiasaanku tidak boleh tidur tenang bila saudaraku tercinta tidak hadir menemani. Aku tergugat apabila merasakan bantal dan guling di samping kanan telah kehilangan pemilik. Rasa penat yang belum ter-neutral-kan menyebabkan tubuhku terhempas di sofa.

Aida sedang diam dalam kekhusyu’kan. Wajahnya begitu syahdu, tertutup oleh deraian air mata. Entah apa yang terlintas dalam qalbunya. Sudah pasti ia merasakan aku tidak hairan saat menyaksikannya. Tegak dalam rakaatnya atau lama dalam sujudnya.


“Ukhti, tidak solat malam? “ tanyanya lembut seusai melirik mata.

“Ya, Sebentar,” kupandang wajahnya. Ia menatap jauh keluar jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka. “Dzikrul maut lagi?”

“Khusnudzan anti terlalu tinggi.”

Aku tersenyum. Sikap tawadhu’mu, Aida, menyebabkan bertambah rasa rendah diriku. Angin malam berhembus dingin. Aku masih enggan beranjak dari tempat duduk. Aida pun nampaknya tidak meneruskan shalat. Ia kelihatan seperti termenung menekuri kegelapan malam yang kelam.

“Saya malu kepada Allah,” ujarnya lirih.

“Saya malu meminta sesuatu yang sebenarnya tidak patut tapi rasanya keinginan itu begitu mendesak dada. Siapa lagi tempat kita meminta kalau bukan diri-Nya?”

“Apa keinginan anti, Aida?”

Aida menghela nafas panjang.

“Saya membaca buku Syeikh Abdullah Azzam pagi tadi,” lanjutnya seolah tidak menghiraukan. “Entahlah, tapi setiap kali membaca hasil karyanya, selalu hadir simpati tersendiri. Hal yang sama saya rasakan tiap kali mendengar nama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb atau mujahid lain saat nama mereka disebut. Ah, wanita macam mana yang dipilihkan Allah untuk mereka? Tiap kali nama Imaad Aql disebut, saya bertanya dalam hati: Wanita macam mana yang telah Allah pilih untuk melahirkannya?”

Aku tertunduk dalam-dalam.

“Anti tahu,” sambungnya lagi, “Saya ingin sekiranya boleh mendampingin orang-orang sekaliber mereka. Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah. Mereka tak tergoda rayuan harta dan benda apalagi wanita. Saya ingin sekiranya boleh menjadi seorang ibu bagi mujahid-mujahid semacam Immad Aql…”

Air mataku menitis perlahan. Itu adalah impianku juga, impian yang kini mulai kuragui kenyataannya. Aida tak tahu berapa jumlah ikhwan yang telah menaruh hati padaku. Dan rasanya hal iti tak berguna diketahui. Dulu, ada sebongkah harapan kalau kelak lelaki yang mendampingiku adalah seorang mujahid yang hidupnya ikhlas kerana Allah. Aku tak menyalahkan mereka yang menginginkan isteri yang cantik. Tidak. Hanya setiap kali bercermin, ku tatap wajah di sana dengan perasaan duka. Setakat inikah nilaiku di mata mereka? Tidakkah mereka ingin menilaiku dari sudut kebagusan dien-ku?

“Ukhti, masih tersisakah ikhwah seperti yang kita impikan bersama?” desisku.

Aida meramas tanganku. “Saya tidak tahu. Meskipun saya sentiasa berharap demikian. Bukankah wanita baik untuk lelaki baik dan yang buruk untuk yang buruk juga?”

“Anti tak tahu,” air mata mengalir tiba-tiba. “Anti tak tahu apa-apa tentang mereka.”

“Mereka?”

“Ya, mereka,” ujarku dengan kemarahan terpendam. “Orang-orang yang saya kagumi selama ini banyak yang jatuh berguguran. Mereka menyatakan ingin ta’aruf. Anti tak tahu betapa hancur hati saya menyaksikan ikhwan yang qowiy seperti mereka takluk di bawah fitnah wanita.”

“Ukhti!”

“Sungguh, saya terfikir bahawa mereka yang aktif da’wah di kampus adalah mereka yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya semata. Ternyata mereka mempunyai sekelumit niat lain.”

“Ukhti, jangan su’udzan dulu. Setiap manusia punya kelemahan dan saat-saat penurunan iman. Begitu juga mereka yang menyatakan perasaan kepada anti. Siapa yang tidak ingin punya isteri cantik dan shalihah?”

“Tapi, kita tahukan bagaimana prosedurnya?”

“Ya, memang…”

“Saya merasa tidak dihargai. Saya berasa seolah-olah dilecehkan. Kalau ada pelecehan seksual, maka itu wajar karena wanita tidak menjaga diri. Tapi saya…. Samakah saya seperti mereka?”

“Anti berprasangka terlalu jauh.”

“Tidak,” aku menggelengkan kepala. “Tiap kali saya keluar rumah, ada sepasang mata yang mengawasi dan siap menilai saya mulai dari hujung rambut -maksud saya hujung jilbab- hingga hujung sepatu. Apakah dia fikir saya boleh dinilai melalui nilaian fisik belaka..”

“Kita berharap agar ia bukan jenis ikhwan seperti yang kita maksudkan.”

Ia orang yang aktif berda’wah di kampus ini, ukh.”

Aida memejamkan mata. Bisa kulihat ujung matanya basah. Kurebahkan kepala ke bahunya. Ada suara lirih yang terucap,

“Kasihan risalah Islam. Ia diemban oleh orang-orang seperti kita. Sedang kita tahu betapa berat perjuangan pendahulu kita dalam menegakkannya. Kita disibukkan oleh hal-hal sampingan yang sebenarnya telah diatur Allah dalam kitab-Nya. Kita tidak menyibukkan diri dalam mencari hidayah. Kasihan bocah-bocah Palestin itu. Kasihan saudara-saudara kita di Bosnia . Adakah kita boleh menolong mereka kalau kualitas diri masih seperti ini? Bahkan cinta yang seharusnya milik Allah masih berpecah-pecah. Maka, kekuatan apa yang kita punya?”

Kami saling bertatapan kemudian. MEncoba merangkai seribu makna yang tidak mampu dikatakan oleh kosa kata. Ada janji. Ada mimpi. Aku mempunyai impian yang sama seperti Aida: mendukung Islam di jalan kami. Aku ingin mempunyai anak-anak seperti yang dimiliki Asma. Anak-anak seperti Immad Aql. Aku tahu kualitas diri masih sangat jauh dari sempurna. Tapi seperti kata Aida; Meskipun aku lebih malu lagi untuk meminta ini kepada-Nya. Aku ingin menjadi pendamping seorang mujahid ulung seperti Izzuddin al-Qassam.

***

Akhifillah,
Mungkin antum tertawa membaca surat ini. Ah akhawat, berapa nilaimu sehingga mengimpikan mendapat mujahid seperti mereka? Boleh jadi tuntutan ana terlalu besar. Tapi tidakkah antum ingin mendapat jodoh yang setimpal? Afwan kalau surat antum tidak ana layani. Ana tidak ingin masalah hati ini berlarutan. Satu saja yang ana minta agar kita saling menjaga sebagai saudara. Menjaga saudaranya agar tetap di jalan yang diridhai-Nya. Tahukah antum bahwa tindakan antum telah menyebabkan ana tidak lagi berada di jalan-Nya? Ada riya’, ada su’udzhan, ada takabur, ada kemarahan, ada kebencian, itukah jalan yang antum bukakan untuk ana, jalan neraka? –‘Afwan.

Akhifillah,
Surat ini seolah menempatkan antum sebagai tertuduh. Ana sama sekali tidak bermaksud demikian. Kalau antum ingin cara seperti itu, silakan. Afwan, tapi bukan ana orangnya. Jangan antum kira kecantikan lahir telah menjadikan ana merasa memiliki segalanya. Justru sebaliknya, kini ana merasa iri pada saudari saya. Ia begitu sederhana. Tapi akhlaknya bak lantera yang menerangi langkah-langkahnya. Ia jauh dari fitnah. Sementara itu, apa yang ana punyai sangat jauh nilainya. Ana bimbang apabila suatu saat ia berhasil mendapatkan Abdullah Azzam impiannya, sedangkan saya tidak.

Akhifillah,
‘Afwan kalau ana menimbulkan fitnah bagi antum. Insya Allah ana akan lebih memperbaiki diri. Mungkin semua ini sebagai peringatan Allah bahawa masih banyak amalan ana yang riya’ maupun tidak ikhlas. Wallahua’lam. Simpan saja cinta antum untuk istri yang telah dipilihkan Allah. Penuhilah impian ratusan akhawat, ribuan ummat yang mendambakan Abdullah Azzam dan Izzuddin al-Qassam yang lain. Penuhilah harapan Islam yang ingin generasi tangguh seperti Imaad Aql. Insya Allah antum akan mendapat pasangan yang bakal membawa hingga ke pintu jannah.

Akhifillah,
Malam bertambah-dan bertambah larut. Mari kita shalat malam dan memandikan wajah serta mata kita dengan air mata. Mari kita sucikan hati dengan taubat nasuha. Pesan ana, siapkan diri antum menjadi mujahid. Insya Allah, akan ada ratusan Asma dan Aisyah yang akan menyambut uluran tangan antum untuk berjihad bersama-sama.

Yang terakhir, akhi, saudara seaqidah ana, ana sertakan bingkisan indah sebuah syair karya pujangga besar Muhammad Iqbal. Semoga menjadi renungan kita bersama untuk lebih meningkatkan ketaqwaan dan keimanan.

***

IDEALNYA SEORANG PEMUDA

Ia peribadi yang muslim,
Berhati emas, Berpotensi prima,
Yang di kala damai
Anggun petaka kijang dari padang perburuan
Yang di kala perang
Perkasa bak harimau kumbang

Ia perpaduan manis empedu
Satu kali dengan kawan
Lain kali dengan lawan
Yang lembut dalam berbahasa
Yang teguh membawa suluh
Angannya sederhana

Citanya mulia
Tinggi keutamaan dalam hati-hati
Tinggi budi, rendah hati

Ia lah sutera halus di tengah sahabat tulus
Ia lah baja
Ditentangnya musuh durhaka

Ia ibarat gerimis atau embun tiris
Yang memekarkan bunga-bunga
Yang melambaikan tangkai-tangkai

Ia juga puting beliung
Yang melemparkan ombak menggunung
Yang menggoncangkan laut ke relung-relung

Ia lah gemercik air ditaman sari, asri
Ia juga penumbang segala belantara
Segala sahara

Ia lah pertautan agung iman Abu Bakar
Perkasa Ali Papa Abu Dzar Teguhnya Salman
Mendirinya di tengah massa yang bergoyang
Ibarat lentera ulama di tengah gulita sahara

Ia pilih syahid fisabilillah atas segala kerusi dan upeti
Ia manuju bintang Menggapai malaikat
Ia tentang tindak kuffar Pola aniaya di mana saja
Maka nilainya pun membumbung tinggi
Harganya semakin tak terperi
Maka siapakah yang akan sanggup membelinya
Kecuali Rabb-nya?

***

WaLLAHu a'lam bishawab, Wassalamu'alaikum warahmatuLLAHI wabarakatuh. sembilanpustaka
~o0o~ sembilanpustaka ~o0o~

Penulis : [RedaksiSembilan] ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Surat Dari Seberang Hijab ini dipublish oleh [RedaksiSembilan] pada hari . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Surat Dari Seberang Hijab
 

0 komentar:

Post a Comment