Selepas malam itu, gemuruh hujan yang membasahi Surabaya tampak di balik kaca kantor. Suasana dingin dan hening agak membuat saya enggan untuk segera pulang meski jam kerja sudah lewat. Dari balik kaca kantor yang ada di lantai tiga, sejenak saya menatap hujan di luar sana. Langit yang pagi tadi cerah, berubah menjadi gelap gulita seperti ini. Allahu akbar, sungguh banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Di meja kerja hanya tersisa sepotong roti dan sebotol air mineral yang sengaja saya siapkan kemarin untuk makan sahur. Malam itu, akhirnya saya terpaksa menginap di kantor. Sebenarnya, bila hujan segera reda, saya sudah berniat beli nasi bungkus untuk makan sahur. Kebetulan di depan kantor biasanya ada angkringan yang buka sejak malam sampai pagi hari. Namun, hingga menjelang subuh, hujan tak juga menampakkan tanda-tanda segera reda. Meski demikian, sepotong roti saya rasa cukuplah untuk makan sahur.
Selepas shalat lail, mata ini saya paksa untuk tetap terjaga meski sudah terasa sangat mengantuk. Sebab, salah satu kebiasaan jelek saya adalah agak susah bangun sendiri bila sudah sudah benar-benar tertidur. Jika sudah begitu, Terkadang, terpaksa asupan kopi kental harus di buat agar bisa tetap terjaga sampai pagi. Dan rencana menghafal surat Luqman tetap berlanjut sembari menunggu waktu sahur ataupun adzan subuh.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, mata ini mulai merah dan beberapa kali harus cuci muka ataupun mengguyurkan air ke kepala agar tak sampai ketiduran. Tiba saatnya untuk makan sahur. Meski tak cukup kenyang dengan sepotong roti, makan sahurpun tetap terasa nikmat.
***
Seringkali teringat suara anak-anak yang mengaji di mushala kampung kami selepas ashar. Anak-anak begitu bersemangat, ramai-ramai, bersama-sama menghafal iqra dan membaca Al-Qur'an dari guru ngaji mereka. Ya Allah, malu rasanya hati ini jika kalah semangat dengan anak-anak itu dalam hal belajar dan menghafal ayat-ayat Allah.
Memang, tanpa disadari, kita terkadang menikmati membaca buku, novel, atau koran hingga lama ataupun berjam-jam. Tapi, saat membaca Al-Qur'an, kita enggan untuk membuka bahkan menghafal beberapa ayat. Terkadang menghafal lirik lagu saja kita bisa bersemangat dan berusaha sampai hafal. Namun, ketika menghafal beberapa ayat Al-Qur'an saja kita merasa jemu.
Tak terbayang, jikalau Al-Qur'an bisa bicara, tentulah ia akan menangis karena sering menjadi sarang debu saat hanya dijadikan pajangan di meja atau lemari. Runtuh rasanya hati ini bila memikirkan hal tersebut. Padahal, itu adalah kalam Allah, Tuhan semesta alam.
Menjelang adzan maghrib, ingin sekali saya menangis tatkala membuka lembaran mushaf Al-Qur'an untuk menghafal kembali surat Luqman. Sebanyak 34 ayat, saya mencoba membacanya dengan gemetar. Bukan karena menahan lapar, tapi gemetar karena malu. Ke mana hendak kusembunyikan tetes air mata yang terjatuh tanpa sengaja saat mencoba menghafal Luqman? Sungguh, betapa kufurnya diri ini ketika malas belajar Al-Qur'an mendominasi hari-hari.
Sore merambat menjemput petang. Tanpa terasa adzan maghrib telah berkumandang. Telah tiba saatnya untuk berbuka puasa. Dalam lapar, semangat untuk menghafal 34 ayat itu t’lah terpatri. Innallaha 'alimun khobirr...
~o0o~ sembilanpustaka ~o0o~
0 komentar:
Post a Comment