Dalam pemahaman agama dikenal adanya tingkatan-tingkatan yakni syariat, toriqoh, hakikat, dan ma'rifat. Antara keempatya terdapat perbedaan yang sangat mencolok yang bisa dikategorikan "bainas sama wal ard" (antara bumi dan langit).
Syariat dapat dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia, baru thoriqoh atau ‘jalan’ atau proses dari syariat menuju hakikat. Baru setelah itu hakikat, yaitu perwujudan esensi atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama. Kemudian ma'rifat yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya dan sedekat-dekatnya. Dengan kata lain, syariah = kulit, thoriqoh = transisi, hakikat = isi, sedangkan ma'rifat = pengetahuan yang sebenarnya.
Dan ternyata pemahaman kita tentang ajaran yang sering kita lakoni setiap hari pada umumnya memang hanya terkait dengan kulit. Lapisan luar, dasar, elementer, atau pada tingkatan SD (sekolah dasar).
Hal demikian sering terjadi karena aspek ibadah yang dipandang oleh manusia hanyalah apa yang bisa dilihat oleh mata dan dirasakan oleh indera lainnya, plus penilaian positif dari orang-orang di sekitar mereka yang tanpa disadari terbuka luas pintu jebakan riya'. Kalaulah hal tersebut ditemukan pada seseorang secara terus menurus maka kesimpulannya adalah sebuah kesalehan.
Di era modern seperti saat ini manusia sudah disibukkan dengan berbagai kompleksitas kehidupan sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk terjun bebas ke tingkat hakekat apalagi ma'rifat. Pragmatisme dan hedonisme mengantarkan manusia untuk mencari yang paling praktis dan paling enak. Tanpa harus berpikir apakah hal-hal yang mereka lakukan tersebut memberikan manfaat ataukah tidak.
Tidak mengherankan bila dalam kenyataan banyak ditemui siswa dan mahasiswa lebih suka nyontek dibanding belajar. Yang penting nilainya bagus meski kenyataannya tidaklah begitu bagus. Ada politisi lebih suka mengambil jalan pintas meskipun sebenarnya tidaklah pantas. Ada pula pegawai yang meng-amin-i korupsi meski bertentangan dengan hak asasi. Mereka itulah yang selalu memiliki pandangan yang berorientasi hasil, bukan pada proses pencapaiannya.
Dengan demikian sebuah pencapaian yang tertinggi akhirnya hanya terukur pada kenyataan-kenyataan yang bersifat lahiriah, atau hasil yang bisa dilihat secara nyata. Orang dinilai pandai manakala semua nilainya A. Dermawan adalah yang sering mengguyurkan hartanya buat orang lain. Orang kaya terlihat dari kekayaannya yang menggunung. Pejabat yaitu mereka yang menduduki jabatan yang tinggi.
Duh, sangat jarang terpikir bahwa orang pandai adalah mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Dermawan selalu memberikan hartanya dengan penuh keikhlasan. Orang kaya mendapatkan hartanya dengan jalan yang halal, dan pejabat adalah mereka yang memegang amanah dari rakyat.
Demikian juga nasib ajaran Idul Qurban atau Idul Adha. Pemahaman yang tercipta dan selalu diulang-ulang dalam khutbah adalah perintah untuk berqurban berupa domba, lembu, unta, dan lainnya. Agama mengajarkan hal tersebut agar manusia tidak lupa untuk berqurban. Setelah itu, sang ustadz dengan gayanya yang elegan menuntun sapi bersama sang penyumbang ke tempat penyembelihan.
Sebelumnya, klik klik klik, acara foto bersama kambing, lembu dan onta yang akan diqurbankan. Lebih noraknya lagi, sehari sebelum hari H, para kambing dan lembu tersebut ditulisi dengan spidol besar nama orang yang berqurban. ataupun berkalungkan nama sang pemilik hewan qurban. Jadilah jangan heran bila hri itu kita temukan lembu Fulan, kambing Fulan, onta Fulan, atau domba Fulan.
Kebanggaan akan muncul manakala banyak mata memandang siapa mengorbankan apa. Seakan-akan semakin besar nilai qurbannya, semakin mantap jiwa keimanannya. Bahkan, biar kelihatan terpandang, maka ada yang melakukan qrban keroyokan, satu sapi dibagi enam atau delapan. Sekedar ingin dipandang "wah" dengan disebutkannya nama mereka dari pengeras suara masjid, bahwa "bapak fulan, turut mengurbankan sekian ekor sapi" (NaudzubiLLAHi mindzalik). Dan yang lebih menyedihkan lagi, sang penyembelih harus menyebut berbagai nama dimaksud sebelum meletakkan pisaunya di leher sang sapi.
Anggota panitia Qurban adalah salah satu orang yang berhak mendapatkan dagingnya, sehingga pada tataran ini, mereka dapat memilih dan mengambil untuk pertama kali. Tentunya bukan di bagian ujung kaki, melainkan di bagian-bagian yang paling banyak dagingnya. Sang pemilik hewan qurban juga sudah menunggu di sampingnya. Biasanya mereka membawa bagian paha atas qurban dimaksud.
Akhirnya, para fakir miskin, muallaf, dan para musafir yang menurut agama dinilai pihak yang paling berhak hanya kebagian daging plus jerohan plus lemak plus tulang belulang.
Setelah acara ritual qurban usai, terjadilah pesta pora : mereka yang menerima daging qurban, panitia pelaksana, ataupun pihak yang berqurban. Ada sate, gule, tongseng, dan masakan lainnya yang berbahan utama daging.
Bahkan ironisnya, kadangkala ada juga yang sambil makan sate meminum minuman keras, alasan mereka biar pas rasanya (NaudzubiLLAHi mindzalik), seperti orang barat (makan daging sambil minum red wine). Dapat dipastikan, sejak hari H hingga 2 hari kedepannya, tukang sate dan sejenisnya terpaksa cuti menjual dagangannya.
Dengan pemahaman yang sangat dangkal seperti itulah sangat bisa dipastikan bahwa nilai-nilai pengorbanan yang menjadi ajaran setiap agama tidak atau sangat jauh menyentuh dalam kehidupan keseharian. Semua berhenti pada tingkatan ritual, kenyataan dan syariat.
Tidak mengherankan, jika seminggu setelah Idul Adha, ketika ada tetangga kesakitan dan perlu biaya berobat, mereka pura-pura tidak tahu. Ketika saudaranya mendapat musibah rasa iba pun tidak muncul. Dan ketika ada musibah bencana alam, jangankan untuk menyumbang, biasanya hanya pandai mengkritik mestinya begini dan begitu. (NaudzubiLLAHi mindzalik)
Orang pun menjadi melupakan bahwa pengorbanan adalah suatu ajaran untuk memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Karena itulah ALLAH mencontohkan Ibrahim menyembelih Ismail, anaknya yang paling disayanginya. Bukan hanya berqurban dengan pakaian bekas layak pakai, menyumbang dengan uang recehan, ataupun memberi buku bekas kepada anak yatim.
Orang pun menjadi melupakan bahwa yang terpenting dalam qurban bukanlah iklan di tv dan media cetak. Melainkan sebuah upaya wujud syukur atas nikmat Tuhan agar dirinya semakin dan senantiasa mendekat kepada Allah 'Azza wa Jalla .
Harus disadari, bahwa yang dilihat Tuhan bukanlah besar kecilnya ataupun sedikit banyaknya hewan qurban, akan tetapi imannya (orang yang berqurban). Itulah pentingnya penyertaan iman dalam pengorbanan, sehingga jiwa pengorbanan akn senantiasa berkobar dari waktu ke waktu tanpa henti, berkesinambungan, dan semakin besar.
Saat kita semua tanpa sadar terjebak dalam ritualisme syariat ajaran qurban, maka manfaat dari qurban hanya sampai sebatas pada perut yang membuncit dan akan hilang dalam hitungan jam atau hari. Selebihnya, semua back to basic dan tidak ada banyak manfaat yang bisa dipetik.
Naudubillahi min dzalik.
~o0o~ sembilanpustaka ~o0o~
0 komentar:
Post a Comment