Ahmad tersenyum memandangi isterinya. “Cantik banget istri abang hari ini,” Ahmad mencubit pipi Liza lembut.
“Ayah, ayah, cepat sedikit lah yah,” Nissa dan Adi bergerombol masuk ke dalam kamar karena sudah tidak sabar lagi untuk berangkat pulang kampung, bertemu dengan eyang, orang tua Ahmad.
“Iya, iya... ini ayah juga sudah siap.” Liza hanya tersenyum melihat suaminya itu menjawab celoteh anak-anak mereka yang lucu dan manja.
“Abang, sudah lama ya kita tidak pulang kampung seperti ini?”
“Iyalah de', maklumlah abang ini kan sibuk, banyak pekerjaan di kantor. Baru sekarang ini abang mendapat kesempatan untuk mengambil cuti panjang.” Ahmad berkata kepada isterinya tercinta.
Perjalanan dari Jogja ke Pacitan memakan waktu kurang lebih enam jam. Ahmad melirik ke kaca pantul di tengah, rupanya Nissa dan Adi sudah terlelap di kursi belakang. Diliriknya juga isterinya, Liza, yang juga terlelap di sebelah kursi kemudi. “Sudah tidak sabar rasanya untuk sampai di kampung.” Ahmad berkata dalam hati.
Sedikit demi sedikit Ahmad menambah tekanan pada pedal gas mobilnya. Semakin lama mobilnya melaju semakin kencang dan Ahmad semakin bersemangat. Ahmad sudah tidak sabar lagi untuk segera sampai ke kampungnya. Pedal gas diinjaknya semakin dalam dan Xenia biru itu melaju semakin kencang menyusuri hitamnya jalanan beraspal. Sesekali laju Xenia biru itu berkelit ke kiri, lalu ke kanan, perlahan menyalip satu per satu kendaraan yang ada di depannya. Bersemangat sekali Ahmad waktu itu, hingga sejenak terlupakan anak dan isterinya yang tengah tertidur lelap di mobil yang sedang dia kemudikan.
“Eh abang, kenapa ngebut banget?” tiba-tiba Liza terjaga dari tidurnya.
“Tidak apa-apa lah de', biar semakin cepat pula kita sampai di kampung nanti.”
“Sabar bang, sabar. Biar lambat tidak apa-apa…. jangan terlalu ngebut bang, Liza takut.” Liza mencoba membujuk Ahmad supaya mengurangi kecepatan kendaraan. “Santai saja de', tidak apa-apa kok,” Ahmad terus menyalip bis di depannya tanpa rasa was-was.
“Haaa.. kan, coba lihat. Tak ada apa-apa kan?” kata Ahmad setelah berhasil menyalip bis tadi.
“Sudah lah bang, Liza ngeri.”
“Ha… itu ada satu lagi bis di depan. Liza coba lihat abang menyalip dia yaaa….” Ahmad terus masuk gear 3, pedal gas diinjaknya hingga menempel ke lantai mobil.
Ahmad mengarahkan mobil berpindah jalur ke kanan untuk menyalip dan ….di depannya tiba-tiba terlihat sebuah truk kontainer yang sangat besar dan….. BRAKKKKKKK!!
***
“Ahmad…, Ahmad…, bangun nak..,” sayup-sayup terdengar suara emaknya.
Ahmad membuka matanya. Dia melihat emaknya di situ. “Mana Liza, mana mak? Bagaimana keadaan Liza mak? Nissa, Adi... bagaimana dengan anak-anak saya mak?” Bertubi-tubi Ahmad bertanya kepada emaknya. Ahmad tak dapat menahan kesedihannya lagi. Ahmad menangis sejadi-jadinya di depan emaknya. Emak hanya diam sambil memandangi Ahmad.
“Bagaimana dengan isteri Ahmad mak, Liza?” Ahmad masih terus tenggelam dalam tangisnya.
BUGGGGHHH!!
Tiba-tiba emak memukulkan guling ke kepala Ahmad. Ahmad spontan terdiam. Kenapa emaknya ini, anak sedang sedih bukannya dihibur, malah dipukul dengan guling?
“Istri, istri... istri yang mana! Kerja saja malas-malasan sudah ingin punya istri. Makanya, hampir Maghrib jangan tidur-tiduran. Dah, dah, sudah adzan tuh, lekas ambil wudhu. Sudah ditunggu bapak sholat jamaah.” emak beringsut bangkit dari tempat tidur, keluar meninggalkan kamar Ahmad….
…Dan Ahmad terdiam, tersenyum tersipu malu seorang diri di kamarnya. Ternyata cuma mimpi... o_O'
~o0o~ 9Pustaka ~o0o~
0 komentar:
Post a Comment